Topiksumut.id, MEDAN -Sidang dugaan korupsi pengadaan proyek mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin, terus bergulir.
Kali ini, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Prof Hartiwiningsih dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Pada sidang yang berlangsung pada Senin (1/9/2025) di Pengadilan Negeri Medan, Hartiwiningsih banyak menjelaskan korelasi kekuasaan pejabat negara untuk mendapatkan keuntungan dari proyek pemerintah.
Hal itu seperti yang tertuang dalam pasal dakwaan terhadap Terbit yakni Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 UU Tipikor.
Pada pasal 12 huruf i lebih spesifik, sebagai pejabat daerah atau pihak yang berkerja atas nama negara menjadi pelaku tunggal yang ikut serta dalam pengadaan tender, atau lelang.
Padahal penyelenggaraan dalam hal ini ASN, dan pejabat tinggi dalam negara, termasuk menteri, gubernur dan lain-lain termasuk bupati dan walikota tidak boleh ikut dalam hal seperti itu, karena sebagian penyelenggara tugasnya adalah mengawasi agar proses profesional dan transparan,” jelas Hartiwiningsih kepada ketua majelis hakim, As’ad Rahim, dikutip dari Tribun Medan.
Terbit diketahui mengintervensi sejumlah proyek di sejumlah dinas Kabupaten Langkat waktu menjabat bupati tahun 2020-2021.
Bersama abang kandungnya, Iskandar Perangin-angin, keduanya didakwa menerima suap sebesar Rp 68,40 milliar dari sejumlah proyek di seperti, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim), Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Hartiwinigsih menjelaskan, intervensi pemerintah daerah pada pengadaan proyek, baik secara langsung atau pihak yang dikehendaki dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan orang orang lain merupakan bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Tujuan pasal 12 huruf I penyelenggaraan negara tidak diperkenankan untuk ikut dalam proses pengadaan barang dan jasa tapi melakukan pengawasan. Harapannya pejabat negara tidak memanfaatkan jabatannya untuk ikut dalam proses pengadaan barang dan jasa. Agar dapat menjalankan tugasnya dengan amanah dan transparan. Penggelapan dalam jabatan, pemerasan perbuatan jasa dan intervensi dalam pengadaan barang jasa. Sesuai Pasal 12 huruf I soal pengadaan barang dan jasa,” kata Hartiwinigsih.
“Dengan sengaja di sini pengertiannya dalam pasal 12 i itu, pejabat menghendaki dan mengetahui, dan sadar dalam hal ini dia ikut serta padahal dalam prose mengetahui adanya larangan itu. Yang dimaksud dengan keterlibatan langsung maupun tidak langsung. Misalnya dia memasuki orang orangnya kemudian memasuki modal, memberikan arahan dan meminta agar perusahaan itu dimenangkan,” jelasnya.
Praktik korupsi seperti ini kata Hartiwingsih bisa dilihat seperti memberikan kemudahan kepada seseorang dan dengan hal itu kepala daerah atau pejabat negara mendapatkan keuntungan.
Selain itu, dalam Pasal 76 UU 23 tahun 2014 sudah diatur pula mengenai kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilarang memberikan kewenangan mengerjakan proyek pemerintah untuk kepentingan sekelompok masyarakat.
Hartiwinigsih mengungkapkan praktik korupsi seperti ini menciptakan ketidakadilan dan kerugian bagi masyarakat karena buruknya kualitas pengerjaan sebab anggaran yang disunat.
“Dan jelas tindakan ini melanggar ketentuan di peraturan presiden 54 tahun 2010 dan juga melanggar etika pengadaan barang dan jasa. Karena sudah ada korupsi,” tuturnya. (Red)